Vidyah Payapon |
Oleh FIFA, perempuan kelahiran Ambon pada 1991 ini ditugaskan di Stadion Beira Mar, Porto Alegre, kota di sisi tenggara Brasil. Bagaimana kesan-kesan Vidyah selama bertugas sebagai sukarelawan transportasi tim Piala Dunia yang membuatnya bisa berada dekat dengan pemain kelas dunia? Berikut penuturan Vidyah yang diwawancarai wartawan Kompas, Adi Prinantyo, di Rio de Janeiro, Brasil, Kamis (3/7/2014) malam.
Bagaimana bisa terpilih jadi sukarelawan?
Mulanya karena saya menyukai Brasil. Ini pengaruh keluarga saya yang memang cinta Brasil sejak dulu, terutama karena prestasi sepak bolanya. Jadi, bagi saya, Brasil ini negara impian. Makanya, begitu mendengar Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, saya ingin sekali bisa ke sini.
Kebetulan ada informasi FIFA membuka lowongan untuk menjadi sukarelawan. Saya mendaftarkan diri secara online pada September 2013. Proses berikutnya, bulan Oktober, panitia pelaksana di Brasil meminta waktu untuk mewawancarai saya melalui Skype.
Wawancara berlangsung pada 22 November 2013 tengah malam WIB. Saya sudah mempelajari peraturan sepak bola dan FIFA, juga soal negara Brasil. Di luar dugaan, pertanyaan lebih terkait kepribadian, misalnya bagaimana mengatasi masalah di dalam tim, bagaimana menemukan solusi, dan sebagainya.
Kapan kepastian diterima jadi sukarelawan?
Masih ada proses ujian pada Januari 2014 yang langsung berlanjut dengan pelatihan. Itu juga berlangsung online selama satu jam, dan baru pada tes ini materinya seputar FIFA, Brasil, dan sepak bola. Bulan Maret, saya ditawari bekerja di Porto Alegre, disusul pengumuman diterima tanggal 24 April 2014.
Sebenarnya saya ingin ditugaskan di Rio de Janeiro dan Brasilia. Akan tetapi, saat tahu penugasannya ke Porto Alegre, tetap saya terima. Rio dan Brasilia diutamakan untuk yang sudah berpengalaman karena menjadi dua kota tersibuk selama Piala Dunia ini. Saya sudah senang sekali terpilih menjadi sukarelawan, dan satu-satunya dari Indonesia.
Biaya ke Brasil didanai FIFA?
Tidak, namanya juga sukarelawan. Saya bersyukur bisa mendapatkan sponsor yang membiayai perjalanan dari dan ke Brasil serta akomodasi selama di sini, yaitu dari Pelindo II. FIFA hanya mendanai transportasi dalam kota Porto Alegre, konsumsi selama bertugas, dan seragam kerja.
Hal yang membuat senang dan bangga, saya mendapatkan sertifikat dan medali berkat penugasan ini. Jadi makin bersemangat untuk mendaftar jadi sukarelawan di acara lain. Saya sudah mendaftar untuk Piala Asia 2015 di Australia dengan mencantumkan informasi pernah bertugas di Piala Dunia 2014 Brasil.
Bagaimana mekanisme kerja sebagai sukarelawan?
Saya ditugaskan di bagian transportasi. Intinya, semua sukarelawan harus berada di stadion jauh sebelum pertandingan dimulai. Kalau (pertandingan) dimulai jam satu siang, kami sudah harus datang jam tujuh pagi. Dimulai jam lima sore, harus datang jam sembilan pagi.
Selama pertandingan terlihat sukarelawan santai-santai, padahal tidak juga. Kami repot sekali sebelum laga dimulai. Setelah selesai juga masih ada pekerjaan.
Senang, ya, bisa dekat dengan pemain-pemain hebat.
Ya, senang apalagi saya suka sepak bola. Tetapi, sebagai sukarelawan, kami terikat peraturan, misalnya tidak boleh berfoto dengan pemain. Ada sukarelawan yang ketahuan berfoto dengan pemain tanda pengenalnya dicabut.
Sukarelawan juga tidak boleh menonton laga. Makanya, saya sempat bersitegang dengan petugas keamanan Beira Mar karena saya dan beberapa teman dilaporkan menonton selama 90 menit, padahal yang terjadi bukan begitu.
Hal menarik selama bertugas?
Salah satunya saat sebelum pertandingan Prancis melawan Honduras, 15 Juni. Bus pemain tidak bisa masuk garasi stadion karena garasinya kecil. Padahal, bus pemain, kan, besar sekali.
Akhirnya pemain keluar dari bus tanpa masuk garasi sehingga harus berjalan agak jauh menuju ruang ganti. Karim Benzema (penyerang Perancis) sampai ketawa-ketawa saat keluar dari bus. Mungkin dia pikir, kok bisa-bisanya itu terjadi.(Adi Prinantyo/Kompas)
No comments:
Post a Comment